Berhukum Syariat Musa

Diantara cerita penugasan Rasul dalam Al Quran, kisah pendampingan Bani Isroil mendapat slot paling banyak. Mungkin karena berakar dari nasab Rasulullah Ibrahim sebagai bapak tiga agama samawi, sehingga Rasul dan umat yang dilayani, yakni Bani Isroil, diceritakan cukup banyak dibanding kisah pengutusan pada bangsa lainnya.

Jika kita pirsa, kisah Bani Isroil identik dengan masa penugasan Rasulullaah Musa AS –meski Rasulullah Ya’kub, Rasulullah Ayyub, Rasulullaah Yusuf, Rasulullaah Dawud, Rasulullaah Sulaiman, Rasulullaah Isa juga melayani suku bangsa yang sama.

Al Quran menceritakan betapa Bani Isroil dimanjakan beberapa “keistimewaan” yang tidak diberikan pada umat lainnya. Alih-alih disyukuri, nikmat istimewa dari Allah SWT ini malah menjadikan mereka sombong dan mengingkari Rasulullah/Nabi.

Sebagaimana sering kita tadaruskan dalam Al Quran, saat penugasan Rasululllaah Musa, Bani Isroil diselamatkan dari perbudakan Firaun, diberi hidangan langit nan istimewa berupa Manna Salwa, dihijrahkan ke tanah Palestina dan dijanjikan ridho ampunan.

Sebenarnya mereka cukup bersyukur dan patuh menuruti semua kata perintah Rasulullaah Musa. Tetapi –mungkin– karena kelewat dikondisikan nyaman dan kebutuhannya instan tersedia, Bani Isroil mengutuki dirinya sendiri sehina babi dan kera. Selain hukuman diaspora, mereka juga diharuskan berbunuh-bunuhan sebagai tebusan pertaubatan.

Tragedi Bani Isroil yang menyalahgunakan keistimewaannya selalu mengingatkan saya tentang negeri surga bernama Indonesia.

Allah SWT memberikan keistimewaan hadiah indah berupa kekayaan bumi seisinya, tanaman segala rasa,  tanah subur dimana-mana, letak geografis-strategis menengahi dunia, rumpun bangsa terkenal keramahannya, pusat peradaban manusia unggulan, keelokan harmoni budaya dan dinamika beragama yang pernah menyatukan kita.

Inilah tanah impian yang disuka banyak bangsa dan patut dijadikan contoh ideal hunian kehidupan. Keistimewaan Bani Isroil jaman dulu, nyaris persis dengan apa yang kita nikmati sekarang ini.

Celakanya, tanpa sadar apa yang sedang kita jalani saat di Indonesia ini kembali meniru kebengalan Bani Isroil, yakni lupa mensyukuri potensi dan ngawur sembarangan memanfaatkan keistimewaan pemberian Tuhan. Kekayaan bumi kita keruk untuk kemakmuran segelintir manusia saja.

Tanaman dan buah-buahan yang sebenarnya sangat cukup kita penuhi dari bumi sendiri, tapi karena kemaruk menurutkan keserakahan, kita impor berlebihan dari negeri jiran. Tanah subur kita rusak hutannya, kita cemari laut dan sungai, kita jual obral geostrategis kedaulatan negara, lalu atas nama trias politica, kita koyak ikatan kerukunan antar bangsa.

Secara berjamaah, kita rusak hadiah indah dari Allah berupa potensi Indonesia ini. Pusat peradaban manusia unggulan kini berganti kumpulan dongeng kerusakan. Agama kita perkosa kesakralannya dan kini hanya tersisa sebagai lapak waralaba kursi kuasa.

Harmoni budaya dan dinamika manusia yang pernah melegenda disatukan Pancasila, kini terpecah-pecah ideologi. Segala contoh perilaku kebejatan umat dahulu bisa kita “nikmati” di negeri ini, tersaji setiap hari di media massa, menemani kebanggaan semu kita sebagai bangsa penganut muslim terbesar sedunia.

Dan iya, satu lagi anomali Bani Isroil yang kini kita napak tilasi, tentang kesepakatan piranti hukum. Kita bicara berbusa-busa tentang hukum positif negara, nyatanya kita hobi main hakim sendiri. Perangkat penegak hukum kita sering tergoda “alim ke kaum kaya dan zalim ke kasta papa”.

Masyarakat kita pun terpancing beringas mengadili sesuka hati: bakar, keroyok, rusak, usir, dan vonis vandal berdasar “undang-undang” emosi massal. Produk aturan lahir bergantian, sarjana hukum diwisuda tiap tahun, tapi hukum keadilan kita belum tegak sebagaimana idealnya.

Begitupun yang suka berwacana hukum syariat agama, fakta berbicara bahwa kita tidak serius sepenuhnya. Rasulullah Muhammad menggenapi tugasnya dengan perangkat hukum syariat-thariqat-hakikat-makrifat, utuh terintegrasi dan tidak dilucuti sendiri-sendiri. Sementara kita suka-suka seenak udelnya, aturan keagamaan kita nego eceran.

Ada yang cuma ngotot di syariat, tapi memutus thariqat. Sebagian keukeuh mengaku penikmat thariqat, namun gagap bersyariat. Diantara kita –katanya– istiqomah berhakikat dan ahli makrifat, tapi luput melakoni syariat-thariqat.

Teladan Rasulullah Muhammad yang lengkap dan sempurna itu, kita preteli sendiri-sendiri dalam seloroh firqoh, jamaah ‘ashabiyah, dan fanatisme khilafiyah. Akhirnya kita tidak berhukum kepada siapa-siapa, tidak berteladan syariat RasulNYA, juga tidak berperilaku sesuai wacana hukum kenegaraan yang kita suarakan.

Kita gunakan hukum serampangan. Jika cocok dengan kepentingan golongan, ya dipakai. Jika tidak cocok dengan kemauan pribadi atau keuntungan kelompok, ya ditolak. Inkonsistensi penerapan aturan ini berlaku semua, baik di tataran hukum positif negara maupun ranah perangkat syariat Rasulullah Muhammad.

Saya hanya khawatir kita ini sebenarnya ingin dihukumi aturan purba Rasulullaah Musa, walau ngakunya ingin berhukum Pancasila dan atau memimpikan terapan syariat Rasulullah Muhammad. Apalagi jika  membandingkan keistimewaan yang kita dapatkan dengan cerita Bani Isroil saat digembala Rasulullah Musa, nyaris kembar persis.

Melihat keruwetan persoalan yang dihadapi bangsa ini, ditengah potensi raksasa yang dimilikinya, terawangan kekhawatiran saya kian ternyatakan. Gegeremetan dan pasukan hewan yang dulu pernah menghukum umat manusia di jaman Rasulullaah Musa, sudah kita alami lewat berita Tomcat -setelah fenomena serbuan hewan lainnya.

Bencana alam dan anomali musim sering menyapa bumi Indonesia. Banjir air darah biasa kita saksikan dalam kasus-kasus bentrok etnik beraroma politik pasca era kerepotan ’98.

Kutukan babi dan kera memang tidak kita mewujud fisik kita. Tapi kerakusan konsumtif makanan, kemaruk mengelola riba, kebebasan menurutkan syahwat sesat, dan perilaku kebinatangan yang kita pertontonkan, sudah mendekati kesamaan akhir cerita Bani Isroil.

Saya mengajak pembaca semua untuk berdoa dan berupaya sekuat tenaga di manapun berada, mari kita memohon kepada Allah SWT, supaya Indonesia tidak diberi sanksi yang sama dengan Bani Isroil. 

 

Jangan sampai karena ndableg dan kekafiran kita, Allah SWT mengaktifkan kembali perangkat syariat Rasulullaah Musa sebagaimana yang dulu pernah diterapkan kepada Bani Isroil.

Kiranya Allah tidak mengadili negeri surga ini dengan perangkat syariat Musa melalui mekanime automatisasi ilahi, saat umat “dikondisikan” hukuman berbunuh-bunuhan sebagai bukti penebusan kesalahan dan itikad pertaubatan.

Sebuah syariat hukuman yang –jika sampai terjadi– akan membuat bangsa kita terancam diaspora, terpisah antar keluarga Indonesia. Mudah-mudahan kita terhindar dari pengulangan syariat hukuman yang demikian.

Tentang Gus Adhim

| gembala desa | santri pembelajar selamanya di SPMAA | hobi fotografi untuk aksi filantropi | enthusiast of ICT & military | gadget collector | pengguna & penganjur F/OSS | IkhwaanuLinux | writerpreneur | backpacker | guru bahasa & TIK | pekerja sosial profesional |
Pos ini dipublikasikan di AdhiMind. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar