Menjaga Tentara Perdamaian Dunia

Tahun 1957, ketika usia kemerdekaan negara kita masih remaja, Presiden Soekarno atas nama bangsa Indonesia mengirimkan Kontingen Garuda (Konga) yang berintikan anggota TNI dari berbagai unsur kesatuan ke wilayah Timur Tengah. Konga I ini bertugas mendamaikan perang sekaligus menjaga keamanan perbatasan antara Mesir yang diidentikkan wakil bangsa Arab dan Israel yang saat itu jadi entitas baru. Secara umum, misi Konga I ini berjalan sukses, aman dan sesuai amanat penugasan yang diemban.

Sejak saat itu, kiprah TNI kita di setiap konflik dunia, kian banyak dibutuhkan. Konga, atau yang kini dinamai Indobatt (Indonesian Batallion), diakui oleh komunitas internasional, mampu memberikan jawaban dari setiap upaya perdamaian menghentikan pertikaian (peacekeeping) yang digagas Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).

Kepercayaan baik ini memotivasi Indonesia melahirkan sebuah institusi pendidikan khusus untuk TNI yang dinamai Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP) di Sentul, Bogor. Operasional PMPP diresmikan oleh Presiden SBY tahun 2011 lalu.

Sebagai lembaga pendidikan yang bervisi perdamaian, PMPP memikul tugas berat sekaligus mulia dalam menyiapkan profil TNI sebagai tentara bersenjata yang berjiwa seutuhnya manusia. Sebagaimana kita tahu, naluri seorang tentara jika terlibat menengahi sebuah konflik, pilihan yang dihadapi tentu terbatas. Dalam situasi terdesak membela diri, opsi yang tersedia bahkan harus memaksa “membunuh atau terbunuh”. 

Di sinilah tugas pokok dan fungsi PMPP akan selalu ditunggu, apakah terus bisa menjaga misi mulianya dalam melahirkan tentara-tentara manusia Indonesia yang berjiwa perwira nan dewasa saat mendamaikan dunia?

Jika merunut kilas balik sukses penugasan Konga atau Indobatt saat dipercaya mendamaikan konflik bersenjata di berbagai belahan negara dunia, kuncinya adalah pendekatan kemanusiaan.

Pengalaman TNI kita yang membawa mandat perdamaian PBB di Asia, Afrika, Eropa, hingga Amerika, membuktikan Indonesia bisa diterima karena faktor keramahan dan luwesnya komunikasi budaya tentara kita dalam menyesuaikan tata krama sosial manusia di tempat penugasan berada. 

Maka tugas PMPP sekarang dan seterusnya adalah bagaimana merumuskan nilai ramah khas budaya nusantara ini secara integratif ke dalam kisi-kisi kurikulum pendidikannya, “membentuk figur teladan TNI yang bersenjata namun berjiwa kasih manusia Indonesia”.

Faktor pertikaian dunia yang umumnya dipicu motif kepentingan ideologi dan ekonomi, menjadi tantangan tersendiri bagi PMPP dan personel TNI kita khusunya. Dua motif ini, terutama ideologi, melekat erat di setiap pribadi manusia sebagai kelengkapan hidupnya di dunia. Setiap manusia punya motif ideologi berbeda, sehingga harus disadari bahwa pemaksaan penyeragaman “satu dunia satu ideologi”, akan berhasil nihil. 

Bahkan Amerika atau Rusia sebagai negara adikuasa dengan kekuatan super armadanya di semua matra, belum mampu mematikan api ideologi dan perlawanan bangsa-bangsa yang pernah dipaksa tunduk ke ideologi mereka melalui pendekatan senjata.

PMPP dan TNI sudah memiliki keunggulan tersendiri sekaligus jawaban yang sudah teruji mengatasi persoalan ini, yakni Pancasila sebagai garda pemersatu, penjaga dan pendamai keberagaman bangsa kita  

Pentingnya peran PMPP selain mewujudkan perdamaian dunia, adalah menjaga setiap pribadi TNI kita agar bisa memahami seutuhnya muasal cita-cita pembentukan TNI, yakni sebagai tentara rakyat.

Dalam konteks pertahanan nasional (hannas), konsep strategis ini menuntut TNI sebagai institusi maupun pribadi harus punya keterampilan fungsi pertahanan sekaligus penjaga perdamaian yang berkeadilan, manusiawi, dan kedewasaan bersikap netral, terutama ketika menengahi konflik horisontal yang sekarang ini kerap menguji keutuhan NKRI.

Saya akur sepenutur dengan usul pernyataan Pabandya Penggalang Kodam III/Siliwangi Tugiman, dalam disertasi berjudul Kedudukan dan Fungsi Tentara Nasional Indonesia dalam Sistem Negara Menurut UUD 1945 pada sidang doktor ilmu hukum di Gedung Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, April lalu (19/4/13). 

“Indonesia cenderung mengadopsi ketahanan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa yang tidak punya masalah ketahanan di dalam negeri sedangkan Indonesia justru permasalahan ada dalam negeri. Masalahnya saat ini peran TNI dalam menghadapi ancaman di dalam negeri. Selama ini sesuai dengan UU yang ada TNI hanya menghadapi ancaman dari luar negeri. Perlu diperkuat praktek fungsi TNI dalam ketahanan dalam negeri,” kata Tugiman.

Menghadapi tugas hannas, peran TNI tetap diandalkan meski sekarang ini cenderung dikurangi akibat produk hukum bernuansa politis. PMPP sebagai institusi pendidik TNI harus melihat ini sebagai tantangan perhatian ke depan.

Jangan sampai kisah sukses TNI kita yang terkenal nama baiknya sebagai penjaga perdamaian dunia, tapi citra internal di mata rakyat kita justru terpuruk akibat kurang optimal –untuk tidak menyebut gagal– dalam menjaga perdamaian dan kerukunan bangsa Indonesia. 

Khusus menghadapi ancaman perang asimetris dan isu global teroris, saya sangat berharap PMPP mampu menghadirkan peran TNI sebagai penjawab persoalan krusial ini. Merujuk amanat diplomasi luar negeri yang digaungkan Presiden RI, yakni “millions friends zero enemy”, saya kira konsep baik ini layak dicoba juga dalam menyelesaikan akar ideologis persoalan teroris, di tingkat dunia, maupun terutama di negara kita. 

Berkaca pada sukses misi Indobatt atau Konga di dunia, maka pendekatan kemanusiaan wajib dikedepankan. Memakai pesan mulia guru hidup saya, “Semua manusia adalah saudara sesama anak cucu Adam. Musuh kita hanya setan dalam hati manusia, merekalah yang wajib dikalahkan, dan manusia harus diselamatkan.!”

Kuncinya adalah dialog dalam suasana setara sebagai sesama manusia.  Upaya pencegahan radikalisme dan pendidikan perdamaian ditempuh dengan cara pendekatan  “menyadarkan” bukan “mengalahkan”. Saya sebagai satu diantara kader santri Indonesia ingin memberikan andil jawaban pada upaya konstruktif dialogis ini sebagai ikhtiar kerjasama antara TNI dan komponen rakyatnya. 

Agar misi PMPP dan TNI berjalan sesuai cita-cita pembentukannya, maka usul saya,  libatkanlah segenap komponen rakyat Indonesia dalam menjaga perdamaian antar bangsa di nusantara, senyampang menjalankan fungsi penjaga perdamaian bangsa-bangsa dunia.

Kiprah tulus nan mulia ini terbukti sukses lewat cara dialog komunikasi budaya, menghargai sesama manusia, dan memahami setiap manusia sangat berbeda perangai pribadinya. Keberhasilan misi PMPP dan TNI di dunia, berkaca dari cerita Indobatt/Konga, bukan dengan cara pendekatan bersenjata.

Melalui kibaran dwiwarna Sang Saka, saya berharap kelahiran PMPP dan TNI di Bukit Merah Putih mampu mewujudkan perdamaian manusia Indonesia dan bangsa-bangsa dunia, sebagaimana fungsi bukit atau gunung yang menjadi pasak penjaga konstruksi keseimbangan rotasi bumi.

Tentang Gus Adhim

| gembala desa | santri pembelajar selamanya di SPMAA | hobi fotografi untuk aksi filantropi | enthusiast of ICT & military | gadget collector | pengguna & penganjur F/OSS | IkhwaanuLinux | writerpreneur | backpacker | guru bahasa & TIK | pekerja sosial profesional |
Pos ini dipublikasikan di Adhimlaku2. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar