Maafkan Kami, Macan !

Berita mengenai derita sakit dan wafatnya penghuni KBS (Kebun Binatang Surabaya) tiba-tiba membangunkan kesadaran saya sebagai manusia pembawa amanat khalifah-NYA. Terlepas dari dugaan polemik dan konflik yang mengiringi potensi landmark kota pahlawan ini, saya turut berduka cita untuk mereka para warganya, terutama Macan Sumatera yang terancam punah populasinya. Bela sungkawa saya juga terkirim untuk fauna penghuni KBS yang meninggal dunia dalam beberapa tahun ini. Inna lillaahi wa inna ilaihi rooji’uun.

Di sisi lain dunia, saya membaca berita adanya dugaan sebuah konspirasi global pengurangan jumlah manusia secara massif dan massal. Konon, konspirasi rapi nan jahat ini berencana menyaring eksistensi sekitar 7 milyar penghuni bumi hingga tinggal 500 juta manusia pilihan saja. Jika memang rencana ini ada, tentu kita patut mencegahnya karena sangat berlawanan dengan perikemanusiaan dan beraroma propaganda agitasi SARA.

Dua berita ini melahirkan renungan yang sama-sama penting dan relevan kita pikirkan. Pertama, kian terancamnya jumlah populasi fauna langka seperti Macan Sumatera adalah karena keberadaan –jika tidak bisa disebut kerakusan– kita para manusia.

Gundulisasi hutan sebagai perluasan lahan kehidupan manusia telah memaksa mereka menyingkir, bertahan memangsa ternak penduduk, atau akan mati pelan-pelan. Resikonya tetap sama, macan-macan ini selalu diburu karena dianggap predator benalu yang mengganggu –atau justru dijadikan buruan sumber pendapatan.

Jutaan hektar hutan yang menjadi habitat macan bertempat kini beralih fungsi. Semuanya digunakan untuk mewadahi jumlah kelahiran kita manusia yang kian banyak membludak. Plus untuk memenuhi kebutuhan permakanan dan aksesori tambahan yang tak terpuaskan. Macan pun jadi korban terusir dan terpinggirkan dari rumahnya di hutan belantara.

Lalu ketika ada diantara kita yang peduli menyelamatkan keberadaannya lewat wahana penangkaran semisal kebun binatang, macan tetap jadi korban. Ia terpenjara dalam kurungan, hanya menjadi alat hiburan dan pusat tontonan. Secara naluri hewani, ia “dipaksa” melepas nafsu berburu sekaligus mahkota “raja hutan” nya. Lagi-lagi, demi memenuhi kesenangan hobi kita manusia.

Kedua, kepunahan populasi macan di habitat aslinya dan keberadaannya yang kian memprihatinkan di kebun binatang adalah bukti kegagalan kita semua dalam mengemban amanah khalifah (penjaga) bumi-NYA.

Demi ambisi dan kerakusan, kita seenaknya merampas hutan dan pepohonan yang menjadi rumah perlindungan sekaligus jaminan keberlanjutan hidup keluarga macan. Hanya karena tergoda gurihnya bisnis lahan kota, kita akan membunuhi hak asasi macan dan teman-temannya ini?

Betapa tidak adilnya kita sebagai khalifah penjaga dunia, hanya atas alasan “kemanusiaan” kita kenyang-kenyangkan kebutuhan, sementara kebutuhan hidup macan kita abaikan. Saya khawatir jangan-jangan kita sudah menyelewengkan amanah Tuhan?

Mumpung lagi berkuasa sebagai khalifah dunia, lalu kita semena-mena meluaskan lahan kerakusan dan seenaknya menyalakan mesin kemajuan jaman dengan menyingkirkan mereka para fauna yang jelata. Bisa jadi kita terlampau rakus korupsi mengadali hak hidup sesama penghuni bumi, terutama hak asasi macan-macan ini !

Pun demikian, ketika mereka sudah dicoba diselamatkan lewat “pengebun-binatangan”, kita tetap saja hendak kemaruk merampas hidup mereka di sisa dunianya. Semoga saja prasangka kita salah semua, bahwa diantara penyebab wafatnya macan-macan ini adalah karena adanya percobaan pengalihfungsian dari paru-paru perkotaan menjadi pusat lahan perdagangan.

Semoga praduga adanya beberapa oknum manusia yang ingin menguasai kebun binatang ini hingga menyebabkan kematian macan, hanyalah isu dan itu tidak akan berlaku.

Ketiga, saya rasa kita semua wajib meminta maaf kepada macan dan semua penghuni hutan, terutama warga fauna Kebun Binatang Surabaya yang telah tiada. Selain –mungkin– karena unsur keteledoran pengunjung dan pengelola, kematian mereka tetap akan menjadi tutuntan pertanyaan bagi kita semua di akhirat sana.

Ke mana tanggung jawab kita, masyarakat umumnya dan terutama cendekia agama? Bukankah masih melekat di ingatan kita tentang hadist Rasulullah yang menceritakan seorang ahli ibadah masuk neraka gara-gara sibuk ibadah khusyu’ tapi membiarkan kucingnya mati kelaparan dalam kurungan?

Pemborosan pemakaian kertas –berbahan baku pohon– kita menyebakan percepatan gundulisasi hutan yang itu berarti kian menyusutkan hidup hewat rimba ini. Andil kemaruk kita dalam mengenyangkan variasi makanan –alih-alih membuka lahan perkebunan, turut membunuh hidup macan dan memutus rantai makanan hutan.

Semua kerakusan kita itu, harus ditebus dengan kata maaf atau kita akan didera siksa atas tuntutan mereka. Sebagai hamba beriman dan meyakini hari pembalasan, percayalah bahwa Allah SWT yang Maha Adil nantinya akan menanyai kita tentang kasus macan mati ini.

Sudahlah kita tidak perlu mencari siapa yang salah. Lebih baik meneliti kesalahan diri sendiri dan segera beraksi nyata menyikapi kematian macan ini. Dukunglah Pemkot Surabaya dan pengelola Kebun Binatang Surabaya agar tetap menjadikan landmark bersejarah ini sebagai hutan dan paru-paru perkotaan. Selain tentu saja, fungsi rumah suaka hewan langka sekaligus sarana pendidikan ramah lingkungan bagi keluarga kita semua.

Selamatkan dan lestarikan Kebun Binatang Surabaya beserta hak hidup warga faunanya. Jangan dialih-fungsikan sebagai lahan perdagangan.

Bagi cendekia agama, serulah keluarga beserta pengikut-pengikut kita untuk urun amalan pembiayaan bagi upaya penyelamatan hidup macan dan semua warga hunian Kebun Binatang Surabaya. Syukur dan akan lebih elok jika perolehan sumbangan masjid bisa dihibahkan untuk aksi peduli upaya ini.

Kita semua, kaum Muslim khususnya, akan sekaligus mampu membuktikan bahwa masjid sebagai tempat beribadat telah membawa manfaat sosial yang berlaku universal –selain fungsi ritual.

Saya tidak ingin ada asumsi pembenaran terhadap usaha pengurangan populasi manusia hanya gara-gara kita lebih kemaruk berbinatang daripada macan dan kawan-kawan faunanya. Tentu kita tidak akan mau dikatutkan program depopulasi penghuni bumi –entah oleh perencana konspirasi atau mekanisme otomatisasi ilahi– akibat terlalu merusak dan mengancam hak hidup warga dunia lainnya.

Dalam konteks keprihatinan ini, Allah SWT sudah mewanti-wanti kita, bahwa derajat kita bisa lebih hina dari binatang ternak jika tidak mampu memelihara derajat mulia sebagai khalifah bumiNYA (asfala saafiliin, QS. 95:5), (in hum illaa kal an’am bal hum adlollu sabiilaa), QS. 25:44).

Surat Al Quran yang diakhiri redaksi An Naas (manusia) mungkin mengandung makna seruan bagi kita semua agar kembali sadar menempati derajat unggul dan mulia manusia seutuhnya. Diantara ciri manusia mulia adalah mampu bersikap hamemayu hayuning bawono, menjaga harmoni penghuni bumi dalam suasana cinta kasih sesama dan berbagi peduli.

Berita kematian macan janganlah dianggap lebih rendah nilai tuntutannya di hadapan Allah dibanding kematian pujaan artis idola yang berhar-hari menyita ruang berita keluarga dan air mata kita semua.

Di peringatan hari pendidikan ini, saya mengajak pembaca semua untuk belajar jadi manusia kembali, yang wirai, hati-hati, dan peduli sebagai khalifah bumi. Permohonan maaf kita kepada macan dan fauna telantar lainnya, semoga mengilhami hari pendidikan ini agar kita semua tetap berhak jadi manusia penghuni bumi dan tidak perlu jadi kelinci percobaan program depopulasi.

Tentang Gus Adhim

| gembala desa | santri pembelajar selamanya di SPMAA | hobi fotografi untuk aksi filantropi | enthusiast of ICT & military | gadget collector | pengguna & penganjur F/OSS | IkhwaanuLinux | writerpreneur | backpacker | guru bahasa & TIK | pekerja sosial profesional |
Pos ini dipublikasikan di AdhiMinutes. Tandai permalink.

Satu Balasan ke Maafkan Kami, Macan !

  1. ocha sasongko berkata:

    tanda tanda akhir zaman semakin nyata…

Tinggalkan komentar